Jumat, 07 November 2014

makalah notariat dan ppat


BAB 1
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah       
          Dalam pembangunan nasional peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan  meningkat baik untuk keperluan pemukiman maupun kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Selain itu dalam menghadapi kasus-kasus konkrit diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran tanah yang memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya, dan bagi para pihak yang berkepentingan, seperti calon pembeli dan calon kreditor, untuk memperoleh keterangan yang diperlukan mengenai tanah yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk melaksanakan kebijaksanaan pertahanan.
             Sehubungan dengan itu Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam Pasal 19 memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan. Melalui pendaftaran tanah tersebut akan menghasilkan surat-surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, lazim disebut sertifikat hak.
               Pendaftaran Tanah ini  kemudian diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang  menjadi dasar kegiatan pendaftaran tanah di  seluruh Indonesia.
           Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang diselenggarakan berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut selama lebih dari 35 tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Hal-hal yang merupakan kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah selain sebagian besar penguasaan tanah tidak didukung oleh alat-alat bukti yang mudah diperoleh dan dapat dipercaya kebenarannya juga disebabkan karena ketentuan hukum untuk dasar
1
pelaksanaannya dirasakan belum cukup memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah dalam waktu yang singkat dengan hasil yang lebih memuaskan.
          Sehubungan dengan itu Pemerintah mengeluarkan peraturan baru dalam rangka meningkatkan dukungan yang lebih besar pada Pembangunan Nasional yang dapat memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961.
          Meskipun PP No. 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari PP No. 10 Tahun 1961, namun ada dua hal pokok yang tetap dipertahankan yaitu tujuan dan sistem pendaftaran tanah sebagai jaminan kepastian hukum dan cara-cara pendaftaran tanahnya, yang pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
            Terlaksananya pendaftaran tanah diharapkan dapat memberi manfaat-manfaat kepada masyarakat seperti, meningkatkan taraf perekonomian masyarakat di daerah lokasi proyek, memudahkan kemungkinan memperoleh kredit dari bank dengan sertifikat sebagai agunannya, serta menurunkan angka sengketa tanah. Di samping itu tujuan pendaftaran tanah menurut PP ini adalah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap mengenai bidang tanah dipertegas dengan dimungkinkannya  terlihat dan terdeteksi bidang-bidang tanah yang data fisik dan atau data yuridisnya belum lengkap atau masih disengketakan.
            Dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertifikat, yang dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertifikat harus diterima
2
sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan dan menurut  Pasal 23 ayat (2) PP ini  bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersetifikat atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama lima tahun sejak dikeluarkannya sertifikat itu dia tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat atau kepada kantor pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan, mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Dengan demikian maka makna dari pernyataan, bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertahanan, menjadi tampak dan dirasakan arti praktisnya.
Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian perlindungan yang seimbang baik kepada pihak yang mempunyai tanah yang dikuasai serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang bersangkutan atas namanya.
           Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah ( akta PPAT)  merupakan salah satu unsur utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka pokok-pokok tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta cara melaksanakannya mendapat pengaturan juga dalam Peraturan Pemerintah ini.
          Namun dengan keluarnya Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sebagian pemilik tanah mengeluh karena selain harus membayar biaya administrasi pembuatan sertifikat yang dibebankan oleh Kantor Pertanahan masih harus juga dibebankan atas pajak BPHTB, yang mengakibatkan tingginya biaya memperoleh sertifikat
3
hak atas tanah, sehingga tidak sedikit yang mengurungkan niat untuk mengurus sertifikat. Dikenakannya BPHTB untuk pembuatan akta PPAT dalam kegiatan untuk pendaftaran tanah dirasa jadi salah satu faktor penghambat proses pembuatan sertifikat hak atas tanah yang diajukan oleh masyarakat ketika yang bersangkutan melakukan atau memperoleh peralihan hak  karena harus dibebani pajak atas perolehan hak tersebut ( Pasal 24 UU BPHTB).
Hambatan proses pensertifikatan tanah ini bisa jadi disebabkan karena adanya ketentuan Pasal 24 UU BPHTB ini.Untuk mengetahui dan menguji asumsi tersebut di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengajukan judul penelitian “IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) HUBUNGANNYA DENGAN PROSES PENSERTIPIKATAN TANAH “.
B. Rumusan Masalah  
Bahwa Undang Undang  No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB    mempunyai  dampak terhadap pelaksanaan tugas di bidang pertanahan, baik melalui implikasinya terhadap penafsiran mengenai ketentuan-ketentuan tertentu di dalam UUPA (misalnya mengenai konsepsi hak atas tanah), maupun implikasinya terhadap pelaksanaan tugas operasional pelayanan di bidang pertanahan kepada masyarakat, khususnya dalam proses pembuatan sertifikat hak atas tanah.
          Berdasarkan uraian tersebut di atas, secara umum dapat dirumuskan permasalahan “Apakah implementasi dari UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB berpengaruh terhadap proses pembuatan sertifikat tanah “.









4





BAB II
PEMBAHASAN

A. Prosedur Pembuatan Akta
Di dalam pembuatan akta dikenal tata cara pembuatan akta, yang biasa disebut prosedur pembuatan akta. Adapun prosedur pembuatan akta adalah sebagai berikut :
1.     Para pihak yang melakukan peralihan hak atas tanah datang sendiri/dikuasakan kepada orang lain dengan surat kuasa khusus ke Kantor PPAT atau Kantor Kecamatan, dan menginformasikan maksud dan tujuan dalam peralihan hak atas tanah.
2.     Sebelum PPAT membuat akta maka terlebih dahulu PPAT memeriksa surat-surat yang bersangkutan dengan tanah, adapun surat-surat itu antara lain adalah :
a.     Sertifikat tanah yang bersangkutan (untuk tanah yang sudah didaftar), Pethok D atau bisa memakai leter C (untuk tanah yang belum didaftar)
b.     Kartu Tanda Penduduk
c.      Surat Keterangan dari kepala desa yang menyatakan tanah tersebut tidak dalam sengketa
d.     Bukti pelunasan pajak atas tanah yang terbaru
3.     PPAT memeriksa surat-surat yang dibutuhkan, setelah itu dibuat akta peralihan hak dengan sekurang-kurangnya dihadiri 2 (dua) orang saksi
4.     Setelah akta peralihan selesai dibuat maka PPAT membacakan akta peralihan hak dihadapan semua pihak yang hadir, selanjutnya dilakukan penandatangan akta,  setelah yang berangkutan menunjukkan bukti lumas
5
pembayaran BPHTB.
Prosedur Peralihan Hak Atas Tanah Setelah Melalui PPAT
          Maka para pihak atau PPAT harus datang ke Kantor Pertanahan setempat untuk memperoleh surat tanda bukti atas tanah, adapun surat-surat yang diperlukan adalah :
1. Akta peralihan hak atas tanah
2. Surat permohonan konversi
3. Petok D (leter C bila perlu) untuk tanah yang berlum disertifikat
4. Sertifikat hak atas tanah untuk tanah yang sudah disertifikat
5.     Surat keterangan tanah tidak dalam sengketa
6.     Keterangan riwayat tanah
7.     Kartu Tanda Penduduk  ( Wawancara dengan Drs Subhan PPAT/    Camat Lowokwaru pada tanggal 14 April 2004,  Prosedure yang demikian ini sudah sesuai dengan apa yang telah diatur dan ditetapkan  dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.)
                  Dalam pelaksanaannya di lapangan masyarakat atau pihak  yang  hendak memproses sertifikatnya pada umumnya menyerahkan urusan tersebut kepada  PPAT dan yang bersangkutan tinggal membayar biaya penyelesainnya ( bagi pihak yang punya uang) tapi sebaliknya untuk masyarakat yang kemampuannya terbatas pada umumnya menunda pemrosesan pensertifikan tanahnya karena salah satu syarat harus dibuatkan akte peralihan haknya terlebih dahulu. Dimana untuk mendapatkan akte peralihan hak yang harus dibuat oleh PPAT yang bersangkutan harus melunasi terlebih dahulu BPHTB nya. Dari sini nampak jelas bahwa apa yang diharapkan oleh Pemerintah agar pelunasan pembayaran BPHTB dapat diselesaikan seperti yang sudah diatur dalam UU BPHTB , tetapi kenyataannya  hal itu justru menghambat proses pembuatan sertifikat.

6 
B. Kaitan Pembuatan Akta Dengan Pembayaran BPHTB
                 Di dalam UU BPHTB pasal 24 ditetapkan ketentuan bagi pejaba PPAT/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara  bahwa:
(1)       pejabat PPAT/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB
(2)       Kepala Kantor Lelang hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan setelah WP menyerahkan bukti pembayaran BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB
(2a) Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
(3)  Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 
           Dalam Pasal 25 ditetapkan bahwa PPAT/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Dirjen Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya.
              Bagi PPAT/Notaris atau Kepala Kantor Lelang Negara yang melanggar ketentuan pasal 25 ini dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp.250.000,- untuk setiap laporan
Bagi Pejabat PPAT/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan pasal 24 dan pasal 25  akan dikenakan sanksi berdasarkan  ketentuan pasal 26:
7
(1)       Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 ( tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2)       Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 ( dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(2a)  Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2a), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)  Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3a) Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
                 Dari ketentuan pasal-pasal tersebut, menunjukkan bahwa ketika masyarakat memerlukan pelayanan untuk membuat akta peralihan hak harus terlebih dahulu melakukan pelunasan pembayaran pajak BPHTB.
Untuk kota Malang perhitungan pembayaran BPHTB sebagai berikut :
( Nilai Perolehan Obyek Pajak – Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ) x Tarip (5%)
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-09/WPJ.12/BD.05/2003 tanggal 19 Nopember
8
2003 ditentukan sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).
Contoh perhitungan BPHTB sebagai berikut :
          NPOP                   =   Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)
          NPOPTKP  =   Rp.  20.000.000 (dua puluh juta rupiah)
          BPHTB       =   (Rp. 100.000.000 – Rp.20.000.000) x 5%
                             =   Rp. 80.000.000 x 5%
                             =   Rp. 4.000.000,-
Beban yang harus ditanggung oleh masyarakat adalah disamping harus membayar fee Notaris (yang biasanya ditentukan sebesar 1% dari NPOP) dan biaya administrasi yang berdasarkan PP Nomor 46 Tahun 2002 tanggal 27 Agustus 2002 tentang Perubahan Data Yuridis Pertanahan ditentukan sebesar Rp. 25.000,- per kegiatan akan ditambah dengan pembayaran pelunasan BPHTB tersebut. Dan apabila PPAT menandatangani akta tanpa terlebih dahulu melihat Surat Pembayaran BPHTB akan terkena sanksi sesuai yang diatur dalam Pasal 24 ayat (1).
Karena tarip pajak yang tinggi (5%) maka pajak yang harus dibayar tinggi pula, akibatnya akan terjadi penundaan pembayaran pajak berarti pemasukan kepada Kas Negara sebagaimana yang diharapkan tidak terealisir. Karena belum ada pembayaran pajak BPHTB maka akta peralihan hak tidak dapat diproses. Dampak lain yang dapat terjadi adalah adanya perekayasaan pada Nilai Perolehan Obyek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB. Yaitu dengan cara direndahkannya harga riil Nilai Perolehan Obyek Pajak sampai pada batas tidak kurang dari Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pemungutan pajak PBB dan NJOP ini biasanya lebih rendah dari nilai perolehan riil. Hal ini dilakukan untuk mengecilkan nilai pajak yang harus dibayar. Tentunya secara moral hal yang demikian tidak dapat dibenarkan.. Praktek yang demikian ini didalam dunia perpajakan dikenal dengan hambatan pemungutan pajak yaitu dengan mengadakan perlawanan
9
aktif, yaitu perlawanan yang meliputi semua usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan kepada Pemerintah ( fiscus) dengan tujuan untuk menghindari pajak. Dalam perlawanan aktip ini ada yang dikenal dengan tax avosion, yaitu bentuk perlawanan dengan suatu usaha meringankan beban pajak dengan melanggar undang-undang.( Masdiasmo, 2002, hal 9} 
C. Beberapa Pendapat Terhadap Dampak Dikenakannya BPHTB dalam Pembuatan Akta.
          Dari beberapa sumber yang diperoleh melalui wawancara langsung dari beberapa pihak yang terkait yang mengomentari tentang dapat diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2000 antara lain :
1. Dra. Tuminen, SH
          Dra. Tuminen, SH adalah Notaris & PPAT yang beralamat kantor di jalan Bromo No. 41C, menjelaskan bahwa semakin luas tanah dan bangunan yang dimiliki, maka makin tinggi NJOP nya, dan semakin besar pula BPHTB yang harus dibayar. Itulah salah satu sebab mengapa masyarakat melakukan penundaan dalam pemrosesan akte peralihan haknya, dan hal ini juga akan berdampak tertundanya pada proses balik nama atau pemutakhiran data yuridis dalam sertifikat. (Wawancara tanggal 12 April 2004)
2. M. Isro’, SH. CN
          M. Isro’, SH. CN adalah Notaris PPAT dengan wilayah kerja di Kabupaten Malang, juga mengakui bahwa lantaran masyarakat tidak sanggup membayar BPHTB, sehingga tidak dapat memproses akta perolehan hak, maka ada diantara  mereka yang tidak memproses data yuridis dalam sertifikatnya, dan sebagai solusinya yang berangkutan hanya meminta dibuatkan surat kuasa menjual kepada pihak yang namanya tercantum dalam sertifikat.
Sehingga sewaktu-waktu apabila ia ingin mengalihkan lagi hak atas tanah yang

10
telah dibelinya dapat dengan mudah dilakukan karena sudah mendapat kuasa
dari orang yang namanya tercantum dalam sertifikat tanah tersebut. (Wawancara tanggal 1 April 2004)
3. Sulasiyah Amini, SH
          Sulasiyah Amini, SH adalah Notaris/PPAT yang beralamat di Jln. Arjuno 12 Malang yang wilayah kerjanya meliputi Kota Malang, menjelaskan bahwa ia sebagai pelayanan masyarakat khususnya dalam pembuatan akta peralihan hak seringkali mengorbankan fee/imbalan jasa yang seharusnya ia terima, sepanjang masyarakat sudah dapat membayar BPHTB, sebagai salah satu syarat dalam pemrosesan sertifikat. Karena di Kota Malang ini Nilai Perolehan Obyek Pajak Yang Tidak Kena Pajak ditentukan sebesar Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah). Jadi untuk masyarakat yang memperoleh hak dengan NPOP diatas 20 juta sudah punya kewajiban membayar BPHTB dan ini merupakan beban tambahan disamping biaya administrasi lainnya dalam proses balik nama sertifikat.(Wawancara tanggal 1 April 2004)
4. Drs. Supriyadi
Drs. Supriyadi adalah Camat/PPAT Klojen Kotamadya Malang, ini mengatakan bahwa BPHTB berkaitan dengan pajak pribadi seseorang yang harus dibayar kepada negara, sedangkan permohonan sertifikat hak atas tanah berkaitan dengan hak seseorang atas tanah yang dimilikinya, sehingg antara keduanya tidak dapat digabungkan. Seyogyanya BPHTB tidak dapat dibebankan saat seseorang mengajukan permohonan balik nama sertifikat hak atas tanahnya atau dengan kata lain sertifikat hak atas tanah tidak dapat dicampuradukkan dengan pajak.
Namun pada kenyataannya, di lapangan justru sebaliknya, sehingga secara umum dapat dikatakan kalau kehadiran UU No. 21/Tahun 1997 yang telah diubah dengan UU No.20/Tahun 2000 dapat menghambat proses balik nama dalam pemrosesan sertifikat hak atas tanah. Berarti jika dilihat dari sisi
11
kepentingan masyarakat, proses sertifikasi yang tertunda memang dirasa merugikan. Sebaiknya dibedakan antara kewajiban masyarakat membayar pajak (BPHTB) dengan haknya untuk memperoleh pelayanan dalam mendapatkan sertifikat hak atas tanah dan alangkah baiknya sebagai jalan keluar yang cukup bijaksana bahwa pembayaran BPHTB dapat ditunda pelunasannya, sampai masyarakat mampu membayar, tetapi bukan berarti hak masyarakat untuk memperoleh pelayanan pemutakhiran data yuridis dalam sertifikat hak atas tanah harus tertunda. Misalnya dengan digunakannya sertifikat tersebut sebagai jaminan atas pelunasan BPHTB yang belum dibayar. (Wawancara tanggal 12 April 2004)
5. Drs. Subhan
          Wawancara langsung dilakukan kepada Camat/PPAT Lowokwaru ini, dilakukan pada tanggal 19 April 2004. Beliau mengatakan bahwa BPHTB ini merupakan tambahan beban dalam proses pensertifikatan hak atas tanah, karena disamping harus membayar kerja administrasi, juga harus membayar pajak BPHTB, bahkan masyarakat kecil yang umumnya dia layani tidak mengerti bahwa beban yang ditanggungnya ini adalah beban pajak. Seolah-olah  masyarakat menganggap bahwa biaya pembuatan akta PPAT adalah mahal. Ini adalah sebuah tantangan tersendiri untuk menjelaskan kepada masyarakat.
6. Drs. Honi Karyono
          Drs. Honi Karyono adalah Kepala Sub Seksi Bagian Peralihan Hak mengatakan bahwa sebenarnya kami ini merupakan perpanjangan tangan atau alat yang digunakan oleh Kantor Pajak PBB untuk secara tidak langsung sebagai tukang tagih pelunasan pajak BPHTB. Padahal seharusnya fungsi kita adalah pelayanan masyarakat.
Dari beberapa yang menyampaikan pendapat di atas umumnya adalah pejabat yang menjadi ujung tombak pelayanan masyarakat dalam melakukan proses pendaftaran tanah berkaitan dengan peralihan hak, kamipun mengatakan
12
hal yang sama bahwa keberlakuan UU No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2000 mempunyai dampak yang kurang menguntungkan di dalam proses pendaftaran tanah. Hal tersebut dikarenakan masyarakat harus melunasi beban pajak BPHTB yang harus dibayar,  serta bagi pejabat yang berwenang mengeluarkan akta PPAT dan memproses sertifikasi hak atas tanah tidak dapat memproses hak tersebut jika pemohon hak belum menunjukkan pelunasan pajak BPHTBnya. (Wawancara tanggal 21 Mei 2004)































13

BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti tentang pemungutan pajak BPHTB kaitannya dengan proses pensertifikatan tanah dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pendaftaran tanah yang diatur berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 (sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961) menegaskan bahwa pendaftaran hak, asas, dan tujuan penyelenggaraan pendaftaran tanah adalah untuk lebih mudah, murah, dan sederhana dan dapat memberikan jaminan atas kepemilikian hak.
  2. Bahwa akibat adanya pembebanan pembayaran pajak BPHTB yang dikenakan bersamaan dalam proses peralihan hak atas tanah menjadikan beban tambahan bagi masyarakat untuk melakukan pemutakhiran data yuridis pada sertifikat hak atas tanah.
    3. Namun dengan diberlakukannya UU No.21 Tahun 1997 tentang BPHTB proses pendaftaran tanah sedikit mendapat hambatan, karena masyarakat dibebani dengan pemungutan pajak tersebut. Yang dampaknya proses permohonan hak atas tanah pun terganggu karena kantor Pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak.
   4.  Dapat terjadi upaya-upaya rekayasa terhadap Nilai Perolehan Obyek Pajak BPHTB, karena ada peluang untuk itu. Hal ini sangat bertentangan dengan filosofis pungutan pajak yaitu keadilan.


14

B.  Saran
      Dari beberapa permasalahan yang timbul tentang keberlakuan UU BPHTB maupun PP tentang Pendaftaran Tanah, peneliti menyarankan hal-hal sebagai berikut :
       1. Mengingat proses pendaftaran tanah sampai dengan penerbitan  sertifikat hak atas tanah adalah merupakan fungsi pelayanan kepada masyarakat, hendaknya hal ini tidak dikaitkan dengan upaya untuk ditaatinya pembayaran pajak.
    2. Tidak perlu dikaitkan antara kewajiban pembayaran pajak BPHTB dengan penandatanganan akta peralihan hak oleh PPAT. Di dalam penagihan pembayaran utang pajak BPHTB hendaklah digunakan instrumen-instrumen penagihan yang sudah ditetapkan dalam peraturan umum tentang perpajakan.
3. Perlu ditinjau kembali oleh Pemerintah ketentuan Pasal 24 UU BPHTB yaitu adanya keharusan bagi PPAT untuk melihat terlebih dahulu bukti penyetoran pembayaran pajak BPHTB sebelum menandatangani akta peralihan hak.
4. Perlu ditinjau kembali ketentuan tarip pajak serta Nilai Perolehan Obyek Pajak Yang Tidak Dikenakan Pajak.












15

DAFTAR PUSTAKA

-          A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia,Mandar Maju, Bandung,    1990
-          Bachtiar Efendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksananya, Alumni, Bandung, 1993
-          Effendi Peranginangin, Praktek Pengurusan Serifikat Hak Atas Tanah, Rajawali, Jakarta, 1990
-          H. S. Munawir, Perpajakan,Liberty, Yogyakarta, 2000
-          Mardiasmo,Perpajakan, AndiOffset, Yogyakarta, 2002
-          Rochmat Sumitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Eresco, Bandung, 1988
-          Santoso Brotodiharjo,Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1988
-          Waluyo, Perpajakan di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, 2000
-          Undang- Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang UUPA
-          Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea  Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
-          Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah
-          Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah
-                                              Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Biaya Perubahan Data  Yuridis Pertanahan
Keputusan Menteri Keuangan No. Kep-09/WJP.12/BD.05/2003 Tentang  Basarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Paja








Tidak ada komentar:

Posting Komentar