BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dalam
pembangunan nasional peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat baik untuk keperluan pemukiman
maupun kegiatan usaha. Sehubungan dengan itu akan meningkat pula kebutuhan akan
dukungan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan. Selain itu dalam
menghadapi kasus-kasus konkrit diperlukan juga terselenggaranya pendaftaran
tanah yang memungkinkan bagi para pemegang hak atas tanah untuk dengan mudah
membuktikan haknya atas tanah yang dikuasainya, dan bagi para pihak yang berkepentingan,
seperti calon pembeli dan calon kreditor, untuk memperoleh keterangan yang
diperlukan mengenai tanah yang akan dilakukan, serta bagi Pemerintah untuk
melaksanakan kebijaksanaan pertahanan.
Sehubungan dengan itu Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dalam Pasal 19
memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin
kepastian hukum di bidang pertanahan. Melalui pendaftaran tanah tersebut akan
menghasilkan surat-surat tanda bukti yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat, lazim disebut sertifikat hak.
Pendaftaran Tanah ini kemudian
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah yang menjadi
dasar kegiatan pendaftaran tanah di
seluruh Indonesia.
Dalam kenyataannya pendaftaran tanah yang
diselenggarakan berdasarkan PP No. 10 Tahun 1961 tersebut selama lebih dari 35
tahun belum cukup memberikan hasil yang memuaskan. Hal-hal yang merupakan
kendala dalam pelaksanaan pendaftaran tanah adalah selain sebagian besar
penguasaan tanah tidak didukung oleh alat-alat bukti yang mudah diperoleh dan
dapat dipercaya kebenarannya juga disebabkan karena ketentuan hukum untuk dasar
1
pelaksanaannya dirasakan belum cukup
memberikan kemungkinan untuk terlaksananya pendaftaran tanah dalam waktu yang
singkat dengan hasil yang lebih memuaskan.
Sehubungan
dengan itu Pemerintah mengeluarkan peraturan baru dalam rangka meningkatkan
dukungan yang lebih besar pada Pembangunan Nasional yang dapat memberikan
kepastian hukum di bidang pertanahan yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961.
Meskipun
PP No. 24 Tahun 1997 merupakan penyempurnaan dari PP No. 10 Tahun 1961, namun
ada dua hal pokok yang tetap dipertahankan yaitu tujuan dan sistem pendaftaran
tanah sebagai jaminan kepastian hukum dan cara-cara pendaftaran tanahnya, yang
pada hakekatnya sudah ditetapkan dalam pasal 19 Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA).
Terlaksananya pendaftaran
tanah diharapkan dapat memberi manfaat-manfaat kepada masyarakat seperti,
meningkatkan taraf perekonomian masyarakat di daerah lokasi proyek, memudahkan
kemungkinan memperoleh kredit dari bank dengan sertifikat sebagai agunannya,
serta menurunkan angka sengketa tanah. Di samping itu tujuan pendaftaran tanah
menurut PP ini adalah untuk menghimpun dan menyediakan informasi yang lengkap
mengenai bidang tanah dipertegas dengan dimungkinkannya terlihat dan terdeteksi bidang-bidang tanah
yang data fisik dan atau data yuridisnya belum lengkap atau masih
disengketakan.
Dalam rangka memberi kepastian
hukum kepada para pemegang hak atas tanah dalam Peraturan Pemerintah ini
diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertifikat, yang
dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan
ketentuan dalam Pasal 23 ayat (1) PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa selama belum
dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam
sertifikat harus diterima
2
sebagai data yang benar, baik dalam
perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data
tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan dan menurut Pasal 23 ayat
(2) PP ini bahwa orang tidak dapat
menuntut tanah yang sudah bersetifikat atas nama orang atau badan hukum lain,
jika selama lima tahun sejak dikeluarkannya sertifikat itu dia tidak mengajukan
keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat atau kepada kantor
pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan,
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.
Dengan demikian maka makna dari
pernyataan, bahwa sertifikat merupakan alat pembuktian yang kuat dan bahwa
tujuan pendaftaran tanah yang diselenggarakan adalah dalam rangka memberikan
jaminan kepastian hukum di bidang pertahanan, menjadi tampak dan dirasakan arti
praktisnya.
Ketentuan tersebut tidak mengurangi asas pemberian
perlindungan yang seimbang baik kepada pihak yang mempunyai tanah yang dikuasai
serta digunakan sebagaimana mestinya maupun kepada pihak yang memperoleh dan
menguasainya dengan itikad baik dan dikuatkan dengan pendaftaran tanah yang
bersangkutan atas namanya.
Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (
akta PPAT) merupakan salah satu unsur
utama dalam rangka pemeliharaan data pendaftaran tanah, maka pokok-pokok tugas
Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta cara melaksanakannya mendapat pengaturan
juga dalam Peraturan Pemerintah ini.
Namun dengan keluarnya Undang-Undang
No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun
2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), sebagian
pemilik tanah mengeluh karena selain harus membayar biaya administrasi
pembuatan sertifikat yang dibebankan oleh Kantor Pertanahan masih harus juga
dibebankan atas pajak BPHTB, yang mengakibatkan tingginya biaya memperoleh
sertifikat
3
hak atas tanah, sehingga tidak
sedikit yang mengurungkan niat untuk mengurus sertifikat. Dikenakannya BPHTB
untuk pembuatan akta PPAT dalam kegiatan untuk pendaftaran tanah dirasa jadi
salah satu faktor penghambat proses pembuatan sertifikat hak atas tanah yang
diajukan oleh masyarakat ketika yang bersangkutan melakukan atau memperoleh
peralihan hak karena harus dibebani
pajak atas perolehan hak tersebut ( Pasal 24 UU BPHTB).
Hambatan proses
pensertifikatan tanah ini bisa jadi disebabkan karena adanya ketentuan Pasal 24
UU BPHTB ini.Untuk mengetahui dan menguji asumsi tersebut di atas peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian dengan mengajukan judul penelitian “IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG
NOMOR 20 TAHUN 2000 TENTANG BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)
HUBUNGANNYA DENGAN PROSES PENSERTIPIKATAN TANAH “.
B. Rumusan Masalah
Bahwa Undang Undang No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB mempunyai
dampak terhadap pelaksanaan tugas di bidang pertanahan, baik melalui
implikasinya terhadap penafsiran mengenai ketentuan-ketentuan tertentu di dalam
UUPA (misalnya mengenai konsepsi hak atas tanah), maupun implikasinya terhadap
pelaksanaan tugas operasional pelayanan di bidang pertanahan kepada masyarakat,
khususnya dalam proses pembuatan sertifikat hak atas tanah.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, secara umum dapat dirumuskan permasalahan “Apakah
implementasi dari UU No. 20 Tahun 2000 tentang BPHTB berpengaruh terhadap
proses pembuatan sertifikat tanah “.
4
BAB II
PEMBAHASAN
Di dalam UU BPHTB pasal 24
ditetapkan ketentuan bagi pejaba PPAT/Notaris dan Kepala Kantor Lelang
Negara bahwa:
(1) pejabat PPAT/Notaris hanya dapat
menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat
setelah WP menyerahkan bukti pembayaran pajak BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB
(2) Kepala Kantor Lelang hanya dapat
menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
setelah WP menyerahkan bukti pembayaran BPHTB berupa Surat Setoran BPHTB
(2a) Pejabat yang
berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas
tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat dimaksud pada saat Wajib
Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan.
(3)
Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah
wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat
Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dalam Pasal 25 ditetapkan bahwa
PPAT/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau
risalah lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Dirjen Pajak
selambat-lambatnya pada tanggal 10 bulan berikutnya.
Bagi PPAT/Notaris atau Kepala
Kantor Lelang Negara yang melanggar ketentuan pasal 25 ini dikenakan sanksi
administrasi dan denda sebesar Rp.250.000,- untuk setiap laporan
Bagi Pejabat PPAT/Notaris dan Pejabat
Lelang Negara yang melanggar ketentuan pasal 24 dan pasal 25 akan dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan pasal 26:
7
(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris
dan Pejabat lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2), dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar
Rp. 7.500.000,00 ( tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
(2) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1),
dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 ( dua ratus lima
puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.
(2a) Pejabat yang berwenang menandatangani dan
menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2a), dikenakan sanksi menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3), dikenakan
sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3a)
Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 25 ayat (1), dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
13
BAB III
PENUTUP
15
DAFTAR PUSTAKA
-
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia,Mandar
Maju, Bandung , 1990
-
Bachtiar Efendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan
Peraturan Pelaksananya, Alumni, Bandung ,
1993
-
Effendi Peranginangin, Praktek Pengurusan Serifikat
Hak Atas Tanah, Rajawali, Jakarta ,
1990
-
H. S. Munawir, Perpajakan,Liberty , Yogyakarta ,
2000
-
Mardiasmo,Perpajakan, AndiOffset, Yogyakarta , 2002
-
Rochmat Sumitro, Asas dan Dasar Perpajakan, Eresco,
Bandung , 1988
-
Santoso Brotodiharjo,Pengantar Ilmu Hukum Pajak,
Eresco, Bandung ,
1988
-
Waluyo, Perpajakan di Indonesia, Salemba Empat, Jakarta , 2000
-
Undang- Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang UUPA
-
Undang-Undang No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
-
Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang
Pendaftaran Tanah
-
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah
-
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2002 Tentang Biaya
Perubahan Data Yuridis Pertanahan
Keputusan Menteri Keuangan No.
Kep-09/WJP.12/BD.05/2003 Tentang
Basarnya Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Paja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar